Text
Mengapa Negara Gagal : Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan
Judul asli : Why Nations Fail.
"Buku yang benar-benar hebat ... sangat brilian, bernas, dan bermutu! ––Steven Levitt, co-author Freakonomics Buku memikat ini menjawab pertanyaan yang memusingkan para pakar selama berabad-abad: Kenapa ada negara kaya dan miskin, kenapa harus ada jurang pemisah berupa kemakmuran dan kemelaratan, rakyat yang sehat dan sakit-sakitan, rakyat yang kenyang dan mereka yang dicekam kelaparan? Benarkah perbedaan itu disebabkan oleh faktor budaya, iklim, atau posisi geografi suatu negara? Mungkinkah itu dipicu oleh kebodohan atau ketidaktahuan penguasa tentang arah kebijakan yang tepat bagi kemaslahatan rakyatnya? Jawabannya: bukan. Berbagai faktor itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kesenjangan yang tadi disebutkan. Teori budaya, iklim, geografi, maupun kebodohan penguasa bukanlah faktor definitif yang menentukan takdir suatu bangsa. Kalau ketiga teori tadi benar adanya, lalu bagaimana kita bisa menjelaskan anomali yang mencolok ini: Botswana berhasil meraih predikat sebagai salah satu negara termaju di dunia, sedangkan negara-negara Afrika yang lain seperti Zimbabwe, Kongo, dan Sierra Leone masih terjebak dan kemiskinan dan kekerasan? Secara meyakinkan Daron Acemoglu dan James Robinson menunjukkan bahwa kesuksesan atau keterpurukan ekonomi suatu negara ditentukan dan dipengaruhi oleh institusi politik-ekonomi ciptaan manusia. Salah satu contoh paling menarik adalah Korea. Korea Utara dan Selatan memiliki kesamaan budaya, iklim, maupun geografis. Anehnya, rakyat Korea Utara termasuk yang paling miskin di dunia, sementara masyarakat Korea Selatan hidup serba berkecukupan sebagai salah satu negara termakmur di dunia. Korea Selatan berhasil membangun masyarakat yang menghargai inovasi dan memberikan insentif bagi anak bangsanya yang kreatif dan berbakat, serta membuka peluang yang sama kepada segenap rakyat yang ingin memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang ada. Kemakmuran yang diraih oleh bangsa itu bisa dipertahankan sebab pemerintahnya bersikap akuntabel dan tanggap terhadap aspirasi warga. Tapi rakyat Korea Utara sungguh menyedihkan. Selama berpuluh-puluh tahun mereka didera kelaparan, pemerintah yang represif, dan perangkat institusi ekonomi yang sama sekali berbeda—dan kondisi itu tetap dipertahankan atau dibiarkan entah sampai kapan. Perbedaan antara Korea Utara dan Selatan itu berakar pada masalah politik yang menciptakan arah dan haluan institusi kemasyarakatan yang saling bertolak-belakang. Berdasarkan temuan dari penelitian orisinal yang mereka lakukan selama lima belas tahun, Acemoglu dan Robinson menghimpun bukti sejarah yang sangat meyakinkan dari Imperium Romawi, bangsa Maya, negara Venesia di Abad Pertengahan, Uni Soviet, Amerika Latin, Inggris, Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika untuk membangun sebuah teori ekonomi politik termutakhir yang sangat tinggi relevansinya dengan berbagai isu besar yang kita hadapi dewasa ini.
22/268 | 330.9 ACE m | Prodi Ekonomi Pembangunan | Tersedia |
22/269 | 330.9 ACE m | Prodi Ekonomi Pembangunan | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain